Kamis, 21 November 2013

Cerpen



 BAYANGAN HATI

Udara pagi menyapa dengan lembut. Sejenak kuhentikan langkahku menuju gerbang sekolah. Sengaja kunikmati beberapa detik dalam diam. Kupandangai sekeliling sambil tersenyum dalam hati. Gerbang ini, gerbang sekolah yang selalu menyambutku setiap pagi dengan terbuka. Namun terkadang juga tertutup, tentunya saat aku terlambat.
Tak terasa sudah dua tahun sudah hariku berlalu sebagai murid SMA. Dua tahun sudah aku tertawa dan berbagi cerita dengan mereka yang selalu di sampingku. Mereka yang membuat hariku menjadi lebih berwarna. Cerita yang tersimpan di setiap sudut sekolah ini tak akan pernah akan aku lupakan. Aku sendiri tak ingin terlalu mellow karena akan segera lulus. Bagiku, sudahlah, jalani saja apa yang ada di depan dengan sebaik-baiknya.
Dan hari ini, semua berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang spesial. Hanya rutinitas seorang siswi SMA. Kenalkan namaku Monet, aku tegaskan sekali lagi Monet! Bukan monyet! Kini aku masih duduk di bangku kelas XII di salah satu SMA swasta terkenal di Solo. Tentangku, tak banyak yang bisa kuceritakan. Hanya saja badanku tinggi semampai, berkulit putih, hidung mancung, sedikit berwajah indo dan tentunya ada bulu mata tebal lentik yang semakin menambah kecantikan parasku. Kau tahu? Semua itu membuatku menjadi salah satu cewek popoler di sekolah. Bukannya aku sombong, tapi begitulah kenyataannya. Semua orang di sekolah tahu siapa aku, Monet!
Jomblo ketika kamu salah satu cewek popular di sekolah pastinya menjadi hal yang aneh. Tapi tidak untukku. Banyak siswa memandang aku pasti akan mendapatkan segalanya. Termasuk pacar yang tampan. Kau tahu? Cowok tampan dan kaya itu gampang dicari. Tapi untuk masalah cowok yang prefect baik fisik maupun hati itu susahnya minta ampun. Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Well, cukup sudah aku diam termangu. Aku segera bergegas menuju kelas. Tetapi jalanku mulai kupelankan saat melewati lapangan basket, tempat yang tak pernah kulewatkan. Dan sekarang, banyak cowok sedang berlatih basket. Tanpa kentara, mataku mencari sosok yang selalu membuat rasa bersalahku muncul tiba-tiba, sosok yang hanya bisa kupandangi dari kejauhan.
“Kraakk..”, suara bola basket membentur pagar besi pembatas lapangan.
Sorry, ngagetin..”, seorang anggota tim basket mendekat dan mengambil bola.
“I-iya. Nggak apa-apa kok”, jawabku dengan nada tergagap. Rasanya malu sekali seorang Monet tergagap! Sejenak aku seperti terkena semacam sihir atau jampi-jampi. Jantungku berhenti berdetak!
Bagaimana tidak? Cowok itu membuatku terpesona. Cowok tampan, jago basket, kaya sekaligus pintar itu biasanya hanya ada di sinetron. Tapi aku berani sumpah, makhluk seperti itu benar-benar ada di sekolahku. Cowok itu bernama Diaz, anak XII IPA 2. Tubuh yang tinggi, kulit  sawo matang dipadu dengan senyuman manis yang mengembang setiap bertemu orang benar-benar seorang cowok idaman. Selebritis sekolah yang selalu menjadi bahan perbincangan di kalangan siswa bahkan guru. Apapun tentang Diaz selalu menjadi trending topic.
Stop! Stop! Berhenti membahas Diaz. Aku benci Diaz!  Tapi entahlah. Aku sendiri masih bingung dengan perasaanku. Apakan ini perasaan benci atau bersalah pada Diaz. Kau tahu? Diaz adalah mantanku yang kuputus setelah 3 jam sejak kami resmi pacaran. Tragis bukan? Dan inilah yang menjadi pengganjal aku dengan Diaz sejak hari itu. Aku ingin kami berteman. Teman yang biasa tentunya. Hanya saja semua terasa tidak mungkin mengingat apa yang telah aku lakukan pada Diaz beberapa tahun yang lalu. Oh My God!
“Hai, beby”, sapa Anggar dari dalam kelas sambil mengedipkan sebelah matanya dengan mesra.
“Hai juga, beby”, jawabku dengan nada centil.
Beby, nanti temenin aku latihan basket ya buat persiapan pertandingan? Bisa kan?”
“Udah deh mulai. Aku paling nggak mau nemenin kamu latihan basket kalo timnya tim campuran kelas IPA dan IPS”, jawabku dengan nada kesal.
Anggar adalah pacarkuku. Perawakannya hampir mirip dengan Diaz. Cukup tampan, tajir dan sama jagonya dalam hal basket. Tapi bedanya dengan Diaz, Anggar agak kekanak-kanakan dan dia adalah teman sekelasku, kelas XII IPS. Satu setengah tahun yang lalu, Anggar pindah dari Jakarta. Karena kepintarannya dalam mengolah si kulit budar orange itu, otomatis Anggar masuk tim basket sekolahku. tim basket di sekolahku dibagi menjadi dua, tim IPA dan tim IPS. Tim IPA dan tim IPS akan dicampur bila akan megikuti kompetisi seperti dalam waktu dekat ini. Dan bisa ditebak pula, Diaz dan Anggar yang merupakan pentolah basket sekolahku pun akan masuk dalam pemain utama tim campuran. Kau tahu? Karena itulah aku paling malas diajak latihan bila timnya campuran.
Aku sudah berpacaran dengan Anggar hampir satu tahun. Aku sendiri tidak tahu apa yang membuatku bisa bertahan berpacaran dengan Anggar hampir selama itu. Jujur, aku akui, aku tidak terlalu suka apalagi cinta padanya. Aku menduga-duga mungkinkah aku berpacaran dengan Anggar karena dia mirip dengan Diaz? Apakah bisa bertahan berpacaran dengan Anggar karena bayang-bayang rasa bersalahku pada Diaz? Who knows? Aku benar-benar tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.
Kalau boleh jujur, aku pacaran dengan Anggar awalnya hanya untuk menjaga gengsiku sebagai cewek popular di sekolah. Monet jomblo? Nggak bangetlah ya! Namun setelah menjalani hubungan yang awalnya hanya iseng, aku mulai bisa menerima tingkah konyol Anggar dan sifat manjanya. Aku juga jadi kangen kalau tidak mendengar omelan Anggar yang sering menyuruhku belajar on time. Yang tak henti-hentinya menceramahi aku untuk menjadi cewek lebih rapi dan lebih peka.
Kini aku berangan-angan. Andaikan aku bisa memilih dan mengulang waktu, aku akan memilih Diaz. Atau tepatnya memperbaiki hubunganku dengan Diaz. Karena sejak peristiwa itu, aku tak pernah bertegur sapa sekalipun dengan Diaz.
Kejadian itu terjadi saat aku masih duduk di bangku kelas X. Masih awal mengenakan seragam SMA dan masih belum punya pengalaman berpacaran membuat aku takut untuk mencoba membuka hati untuk seorang cowok. Yang aku inginkan saat itu adalah punya banyak teman untuk bisa tertawa dan seru-seruan bersama. Hingga permainan itu dimulai. Sebuah permainan yang sering dimainkan anak SD yaitu suit. Dimana yang kalah akan menuruti perintah sang pemenang. Saat itu Maria-lah yang keluar sebagai pemenangnya dan aku tentunya sebagai pihak yang teraniyaya karena kalah. Dengan acak Maria menunjuk satu cowok satu kelas yang memiliki senyum manis dan tatapan setajam mata elang. Maria sambil cengar-cengir nyuarakan titahnya, menyuruhku untuk mengutarakan perasaanku pada Diaz. Dan bodohnya, saat itu aku dengan percaya diri menghampiri Diaz yang sedang bercanda dengan teman-temannya  dan langsung saja berkata, “Diaz, mau nggak kamu menjadi pacarku?”. Tentunya dengan nada yang manis dan sedikit merayu.
Diaz saat itu hanya terdiam dan bingung, tapi saat itu juga tiba-tiba langsung berkata “Ok, aku mau jadi pacar kamu, Net”.
Satu kelas riuh ramai sejadi-jadinya bahkan suara gaduh teman teman satu kelas membuatku tersadar bahwa aku baru saja menembak Diaz. Sesaat aku syok berat. Kukira ini hanya permainan semata dan tidak harus jadi pacar yang sesungguhnya. Namun kenyataan berkata sebaliknya. Oh My God!
Dengan wajah pucat dan malu aku kembali ke bangkuku.
“Monet, kamu gila? Kamu nembak Diaz di kelas?” Maria bertanya dengan nada keheranan yang amat sangat.
“Bukannya kamu yang menyuruhku, Mar? Gimana sih?”. Aku balik bertanya kepada Maria dengan nada yang heran pula.
“Siapa bilang suruh nembak? Aku bilang nyatain perasaan kamu ke Diaz, Net! Garis bawahi kata-kataku! Menyatakan perasaan itu bukan nembak! Perasaan kan bisa apa saja! Malu, benci, takut, suka, biasa saja atau apapun! Dan yang paling penting, bukan nembak!”, tandas Maria.
“Terus? Oh My God!”
Sesaat aku meresa bersalah, karena mempermainkan Diaz. Aku jadi serba salah gara-gara permainan bodoh itu! Di satu sisi, orangtuaku belum memperbolehkan aku untuk pacaran. Di sisi lain, aku dan Diaz baru saja saling mengenal dan tiba-tiba saja status kami adalah pacaran! Ini gila! Berbagai hal yang sulit untuk aku jelaskan berkecamuk di benakku. Dan setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya aku membuat satu keputusan bulat! Aku dan Diaz harus putus!
 “Diaz, kita putus!”, kataku dingin meskipun dalam hati aku benar-benar tidak tega mengatakannya. Tuhan, ampuni aku, pintaku.
“Ha? Putus? Bukannya kita baru saja jadian beberapa jam yang lalu?” Diaz bertanya kepadaku saat aku mengatakannya. Ia terlihat kaget sekali.
Yupp. Ini hanya permainan, Diaz!” tandasku.
Saat mengatakannya, aku merasa menjadi orang yang paling jahat sedunia! Tapi tidak ada pilihan lain. Ini gara-gara permainan bodoh itu!
Tapi kini aku menyesal dan serba salah. Aku merasakan sesuatu terhadap Diaz. Aku sendiri bingung apakah ini cinta ataukah sebuah obsesi atas rasa bersalahku di masa lalu?
Diaz.. Diaz.. Sosok yang selalu membayang-bayangi hari-hariku. Sosok yang hanya bisa kupandangi dari jauh. Dan Anggar? Sosok pelampiasan rasa bersalahku. Kedok kisah cintaku yang semu.
***
Karena Anggar terus memaksaku untuk menemaninya latihan basket, akhirnya kuturuti juga permintaannya meskipun dengan rasa canggung yang menyelimuti diriku. Bahkan saking canggungnya aku, lapangan basket yang sebegitu luasnya terasa begitu sempit. Hanya menyisakan sekidit ruang untuk menyadari bahwa aku, Angga dan Diaz berada dalam satu tempat yang sama. Benar-benar keadaan yang membuatku gila.
“Ah, akhirnya”, kataku lega ketika aku berada di toilet. Setelah berhasil keluar dari lapangan basket itu.
“Akhirnya apa?” pemilik suara bariton menimpaliku.
“Lega bisa ke kamar mandi”, jawabku pendek.
“Bukan karena aku kan?” tanya pemilik suara bariton itu lagi.
Aku menoleh dan kaget sekaget-kagetnya. Diaz ada di depanku! Dan jarak kami tidak sampai dua meter! Alamak mampus aku!
“Kenapa harus tidak nyaman, Yaz?” Aku balik bertanya pada Diaz. Ada sedikit rasa gugup dalam diriku.
“Karena waktu itu. Mungkin?” Diaz menggantung jawabannya.
Plaakk! Aku seperti ditampar keras-keras dan itu tepat sasaran! “Maaf untuk waktu itu” jawabku diplomatis. Menutupi rasa bersalahku dan juga rasa gugupku.
Tiba-tiba saja Diaz mendekat. Meraih tanganku dan meletakkan tanganku tepat di dadaku. Semua berlangsung begitu cepat. Aku sendiri bahkan tak percaya ini adalah hal yang nyata ataukah sebuah dejavu.
“Monet, Aku menyukaimu. Sejak dulu hingga sekarang. Yang lalu biarlah berlalu. Aku selalu memaafkanmu. Dan saat ini aku saat ini hanya ingin berkata, maukah kau menjadi pacarku?”
Aku saat itu hanya bisa diam mendengar pengakuan Diaz yang begitu tiba-tiba itu. Kutatap dengan heran bola mata Diaz yang kecokelatan. Kutemui di sana sebuah pengakuan tanpa kebohongan. Sebuah ketulusan.
Entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Yang terlintas dalam benakku adalah inilah kesempatanku untuk memperbaiki semuanya dan memulainya dari awal. Namun sebuah suara juga bergema di telingaku. Bagaimana dengan Angga? Haruskah aku mengkhianati Angga walaupun aku tak cinta padanya? Dan aku akan kembali mengulang kesalahan yang sama? Ini semua terjadi begitu saja dan bukan perkara yang mudah untuk kuputuskan dalam waktu beberapa menit saja.
 “Monet?” sebuah suara yang lain memanggilku. Aku menoleh dan mendapati Angga telah berdiri di ambang pintu toilet. “Putuskan sekarang juga, Net! Aku atau Diaz? Aku terima semua keputusanmu,” tambah Angga dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Diaz atau Anggar? Detik itu juga aku harus memilih satu dari dua. Dan dua-duanya adalah sosok yang hampir mendekati sempurna. Namun aku bingung. Aku bagaikan orang serakah yang menginginkan sebuah kesempurnaan.
Keputusan adalah keputusan. Aku telah memilih sebuah jalan dan aku tidak bisa mundur lagi!
 “Diaz, maafkan aku atas perbuatanku waktu itu,” kutatap dalam-dalam mata kecokelatan itu. “Terima kasih telah memaafkanku. Terima kasih untuk semuanya,” ucapku tulus sambil tersenyum. Lalu kulepas genggaman tangan Diaz dan aku pergi meninggalkan toilet.
Anggar mengejarku. “Apa kau yakin dengan keputusanmu, Net?” Tanya Anggar begitu berhasil mengejar langkahku.
“Tentu. Aku tahu yang aku mau, sayang” jawabku sambil tersenyum kenes kepada Anggar. “Buatku, kamu sempurna. Memang tidak seluruhnya, tapi bagiku itu cukup,” tambahku.
Anggar tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung menggenggam tangan Monet dan membimbing kembali ke lapangan basket.
“Aku sayang kamu, Nggar,” ucapku.
Me too, beby.” Sebuah ciuman ringan mendarat di kening Monet disusul dengan senyuman manis khas milik Anggar.
 Akhirnya, aku tahu keputusan yang harus benar-benar kuambil. Aku tahu Diaz sempurna. Namun aku juga tahu Anggar-lah yang terbaik untukku. Hampir saja aku membuat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Bayang-bayang masa lalu hampir saja membuatku menjadi orang yang paling serakah. Mungkin. Menginginkan lebih dan lebih. Padahal ada yang terbaik untukku. Oh God!
***
Tak ada orang lain yang bisa memahami diri kita dengan baik kecuali diri kita sendiri. Jadi kenali dirimu agar kau tau apa yang sebenarnya kau inginkan.





           
                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar