BAYANGAN HATI
Udara
pagi menyapa dengan lembut. Sejenak kuhentikan langkahku menuju gerbang
sekolah. Sengaja kunikmati beberapa detik dalam diam. Kupandangai sekeliling
sambil tersenyum dalam hati. Gerbang ini, gerbang sekolah yang selalu
menyambutku setiap pagi dengan terbuka. Namun terkadang juga tertutup, tentunya
saat aku terlambat.
Tak
terasa sudah dua tahun sudah hariku berlalu sebagai murid SMA. Dua tahun sudah
aku tertawa dan berbagi cerita dengan mereka yang selalu di sampingku. Mereka
yang membuat hariku menjadi lebih berwarna. Cerita yang tersimpan di setiap
sudut sekolah ini tak akan pernah akan aku lupakan. Aku sendiri tak ingin
terlalu mellow karena akan segera
lulus. Bagiku, sudahlah, jalani saja apa yang ada di depan dengan
sebaik-baiknya.
Dan
hari ini, semua berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang spesial. Hanya
rutinitas seorang siswi SMA. Kenalkan namaku Monet, aku tegaskan sekali lagi
Monet! Bukan monyet! Kini aku masih duduk di bangku kelas XII di salah satu SMA
swasta terkenal di Solo. Tentangku, tak banyak yang bisa kuceritakan. Hanya
saja badanku tinggi semampai, berkulit putih, hidung mancung, sedikit berwajah
indo dan tentunya ada bulu mata tebal lentik yang semakin menambah kecantikan
parasku. Kau tahu? Semua itu membuatku menjadi salah satu cewek popoler di
sekolah. Bukannya aku sombong, tapi begitulah kenyataannya. Semua orang di
sekolah tahu siapa aku, Monet!
Jomblo
ketika kamu salah satu cewek popular di sekolah pastinya menjadi hal yang aneh.
Tapi tidak untukku. Banyak siswa memandang aku pasti akan mendapatkan
segalanya. Termasuk pacar yang tampan. Kau tahu? Cowok tampan dan kaya itu
gampang dicari. Tapi untuk masalah cowok yang prefect baik fisik maupun hati itu susahnya minta ampun. Bagai
mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Well,
cukup sudah aku diam termangu. Aku segera bergegas menuju kelas. Tetapi jalanku
mulai kupelankan saat melewati lapangan basket, tempat yang tak pernah
kulewatkan. Dan sekarang, banyak cowok sedang berlatih basket. Tanpa kentara,
mataku mencari sosok yang selalu membuat rasa bersalahku muncul tiba-tiba,
sosok yang hanya bisa kupandangi dari kejauhan.
“Kraakk..”,
suara bola basket membentur pagar besi pembatas lapangan.
“Sorry, ngagetin..”, seorang anggota tim
basket mendekat dan mengambil bola.
“I-iya.
Nggak apa-apa kok”, jawabku dengan nada tergagap. Rasanya malu sekali seorang
Monet tergagap! Sejenak aku seperti terkena semacam sihir atau jampi-jampi.
Jantungku berhenti berdetak!
Bagaimana
tidak? Cowok itu membuatku terpesona. Cowok tampan, jago basket, kaya sekaligus
pintar itu biasanya hanya ada di sinetron. Tapi aku berani sumpah, makhluk
seperti itu benar-benar ada di sekolahku. Cowok itu bernama Diaz, anak XII IPA
2. Tubuh yang tinggi, kulit sawo matang dipadu
dengan senyuman manis yang mengembang setiap bertemu orang benar-benar seorang
cowok idaman. Selebritis sekolah yang selalu menjadi bahan perbincangan di
kalangan siswa bahkan guru. Apapun tentang Diaz selalu menjadi trending topic.
Stop!
Stop! Berhenti membahas Diaz. Aku
benci Diaz! Tapi entahlah. Aku sendiri
masih bingung dengan perasaanku. Apakan ini perasaan benci atau bersalah pada
Diaz. Kau tahu? Diaz adalah mantanku yang kuputus setelah 3 jam sejak kami
resmi pacaran. Tragis bukan? Dan inilah yang menjadi pengganjal aku dengan Diaz
sejak hari itu. Aku ingin kami berteman. Teman yang biasa tentunya. Hanya saja
semua terasa tidak mungkin mengingat apa yang telah aku lakukan pada Diaz
beberapa tahun yang lalu. Oh My God!
“Hai,
beby”, sapa Anggar dari dalam kelas
sambil mengedipkan sebelah matanya dengan mesra.
“Hai
juga, beby”, jawabku dengan nada
centil.
“Beby, nanti temenin aku latihan basket
ya buat persiapan pertandingan? Bisa kan?”
“Udah
deh mulai. Aku paling nggak mau nemenin kamu latihan basket kalo timnya tim
campuran kelas IPA dan IPS”, jawabku dengan nada kesal.
Anggar
adalah pacarkuku. Perawakannya hampir mirip dengan Diaz. Cukup tampan, tajir
dan sama jagonya dalam hal basket. Tapi bedanya dengan Diaz, Anggar agak
kekanak-kanakan dan dia adalah teman sekelasku, kelas XII IPS. Satu setengah
tahun yang lalu, Anggar pindah dari Jakarta. Karena kepintarannya dalam
mengolah si kulit budar orange itu, otomatis Anggar masuk tim basket sekolahku.
tim basket di sekolahku dibagi menjadi dua, tim IPA dan tim IPS. Tim IPA dan
tim IPS akan dicampur bila akan megikuti kompetisi seperti dalam waktu dekat
ini. Dan bisa ditebak pula, Diaz dan Anggar yang merupakan pentolah basket
sekolahku pun akan masuk dalam pemain utama tim campuran. Kau tahu? Karena
itulah aku paling malas diajak latihan bila timnya campuran.
Aku
sudah berpacaran dengan Anggar hampir satu tahun. Aku sendiri tidak tahu apa
yang membuatku bisa bertahan berpacaran dengan Anggar hampir selama itu. Jujur,
aku akui, aku tidak terlalu suka apalagi cinta padanya. Aku menduga-duga mungkinkah
aku berpacaran dengan Anggar karena dia mirip dengan Diaz? Apakah bisa bertahan
berpacaran dengan Anggar karena bayang-bayang rasa bersalahku pada Diaz? Who knows? Aku benar-benar tidak
mengerti dengan perasaanku sendiri.
Kalau
boleh jujur, aku pacaran dengan Anggar awalnya hanya untuk menjaga gengsiku
sebagai cewek popular di sekolah. Monet jomblo? Nggak bangetlah ya! Namun
setelah menjalani hubungan yang awalnya hanya iseng, aku mulai bisa menerima
tingkah konyol Anggar dan sifat manjanya. Aku juga jadi kangen kalau tidak
mendengar omelan Anggar yang sering menyuruhku belajar on time. Yang tak henti-hentinya menceramahi aku untuk menjadi
cewek lebih rapi dan lebih peka.
Kini
aku berangan-angan. Andaikan aku bisa memilih dan mengulang waktu, aku akan
memilih Diaz. Atau tepatnya memperbaiki hubunganku dengan Diaz. Karena sejak
peristiwa itu, aku tak pernah bertegur sapa sekalipun dengan Diaz.
Kejadian
itu terjadi saat aku masih duduk di bangku kelas X. Masih awal mengenakan
seragam SMA dan masih belum punya pengalaman berpacaran membuat aku takut untuk
mencoba membuka hati untuk seorang cowok. Yang aku inginkan saat itu adalah
punya banyak teman untuk bisa tertawa dan seru-seruan bersama. Hingga permainan
itu dimulai. Sebuah permainan yang sering dimainkan anak SD yaitu suit. Dimana
yang kalah akan menuruti perintah sang pemenang. Saat itu Maria-lah yang keluar
sebagai pemenangnya dan aku tentunya sebagai pihak yang teraniyaya karena
kalah. Dengan acak Maria menunjuk satu cowok satu kelas yang memiliki senyum
manis dan tatapan setajam mata elang. Maria sambil cengar-cengir nyuarakan
titahnya, menyuruhku untuk mengutarakan perasaanku pada Diaz. Dan bodohnya,
saat itu aku dengan percaya diri menghampiri Diaz yang sedang bercanda dengan
teman-temannya dan langsung saja
berkata, “Diaz, mau nggak kamu menjadi pacarku?”. Tentunya dengan nada yang
manis dan sedikit merayu.
Diaz
saat itu hanya terdiam dan bingung, tapi saat itu juga tiba-tiba langsung
berkata “Ok, aku mau jadi pacar kamu, Net”.
Satu
kelas riuh ramai sejadi-jadinya bahkan suara gaduh teman teman satu kelas
membuatku tersadar bahwa aku baru saja menembak Diaz. Sesaat aku syok berat.
Kukira ini hanya permainan semata dan tidak harus jadi pacar yang sesungguhnya.
Namun kenyataan berkata sebaliknya. Oh My
God!
Dengan
wajah pucat dan malu aku kembali ke bangkuku.
“Monet,
kamu gila? Kamu nembak Diaz di kelas?” Maria bertanya dengan nada keheranan
yang amat sangat.
“Bukannya
kamu yang menyuruhku, Mar? Gimana sih?”. Aku balik bertanya kepada Maria dengan
nada yang heran pula.
“Siapa
bilang suruh nembak? Aku bilang nyatain perasaan kamu ke Diaz, Net! Garis
bawahi kata-kataku! Menyatakan perasaan itu bukan nembak! Perasaan kan bisa apa
saja! Malu, benci, takut, suka, biasa saja atau apapun! Dan yang paling
penting, bukan nembak!”, tandas Maria.
“Terus?
Oh My God!”
Sesaat
aku meresa bersalah, karena mempermainkan Diaz. Aku jadi serba salah gara-gara
permainan bodoh itu! Di satu sisi, orangtuaku belum memperbolehkan aku untuk
pacaran. Di sisi lain, aku dan Diaz baru saja saling mengenal dan tiba-tiba
saja status kami adalah pacaran! Ini gila! Berbagai hal yang sulit untuk aku
jelaskan berkecamuk di benakku. Dan setelah menimbang-nimbang cukup lama,
akhirnya aku membuat satu keputusan bulat! Aku dan Diaz harus putus!
“Diaz, kita putus!”, kataku dingin meskipun
dalam hati aku benar-benar tidak tega mengatakannya. Tuhan, ampuni aku,
pintaku.
“Ha?
Putus? Bukannya kita baru saja jadian beberapa jam yang lalu?” Diaz bertanya
kepadaku saat aku mengatakannya. Ia terlihat kaget sekali.
“Yupp. Ini hanya permainan, Diaz!”
tandasku.
Saat
mengatakannya, aku merasa menjadi orang yang paling jahat sedunia! Tapi tidak
ada pilihan lain. Ini gara-gara permainan bodoh itu!
Tapi
kini aku menyesal dan serba salah. Aku merasakan sesuatu terhadap Diaz. Aku
sendiri bingung apakah ini cinta ataukah sebuah obsesi atas rasa bersalahku di
masa lalu?
Diaz..
Diaz.. Sosok yang selalu membayang-bayangi hari-hariku. Sosok yang hanya bisa
kupandangi dari jauh. Dan Anggar? Sosok pelampiasan rasa bersalahku. Kedok
kisah cintaku yang semu.
***
Karena
Anggar terus memaksaku untuk menemaninya latihan basket, akhirnya kuturuti juga
permintaannya meskipun dengan rasa canggung yang menyelimuti diriku. Bahkan
saking canggungnya aku, lapangan basket yang sebegitu luasnya terasa begitu
sempit. Hanya menyisakan sekidit ruang untuk menyadari bahwa aku, Angga dan
Diaz berada dalam satu tempat yang sama. Benar-benar keadaan yang membuatku
gila.
“Ah,
akhirnya”, kataku lega ketika aku berada di toilet. Setelah berhasil keluar
dari lapangan basket itu.
“Akhirnya
apa?” pemilik suara bariton menimpaliku.
“Lega
bisa ke kamar mandi”, jawabku pendek.
“Bukan
karena aku kan?” tanya pemilik suara bariton itu lagi.
Aku
menoleh dan kaget sekaget-kagetnya. Diaz ada di depanku! Dan jarak kami tidak
sampai dua meter! Alamak mampus aku!
“Kenapa
harus tidak nyaman, Yaz?” Aku balik bertanya pada Diaz. Ada sedikit rasa gugup
dalam diriku.
“Karena
waktu itu. Mungkin?” Diaz menggantung jawabannya.
Plaakk!
Aku seperti ditampar keras-keras dan itu tepat sasaran! “Maaf untuk waktu itu”
jawabku diplomatis. Menutupi rasa bersalahku dan juga rasa gugupku.
Tiba-tiba
saja Diaz mendekat. Meraih tanganku dan meletakkan tanganku tepat di dadaku.
Semua berlangsung begitu cepat. Aku sendiri bahkan tak percaya ini adalah hal
yang nyata ataukah sebuah dejavu.
“Monet,
Aku menyukaimu. Sejak dulu hingga sekarang. Yang lalu biarlah berlalu. Aku
selalu memaafkanmu. Dan saat ini aku saat ini hanya ingin berkata, maukah kau
menjadi pacarku?”
Aku
saat itu hanya bisa diam mendengar pengakuan Diaz yang begitu tiba-tiba itu.
Kutatap dengan heran bola mata Diaz yang kecokelatan. Kutemui di sana sebuah
pengakuan tanpa kebohongan. Sebuah ketulusan.
Entah
apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Yang terlintas dalam benakku adalah
inilah kesempatanku untuk memperbaiki semuanya dan memulainya dari awal. Namun
sebuah suara juga bergema di telingaku. Bagaimana dengan Angga? Haruskah aku
mengkhianati Angga walaupun aku tak cinta padanya? Dan aku akan kembali
mengulang kesalahan yang sama? Ini semua terjadi begitu saja dan bukan perkara
yang mudah untuk kuputuskan dalam waktu beberapa menit saja.
“Monet?” sebuah suara yang lain memanggilku.
Aku menoleh dan mendapati Angga telah berdiri di ambang pintu toilet. “Putuskan
sekarang juga, Net! Aku atau Diaz? Aku terima semua keputusanmu,” tambah Angga
dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Diaz
atau Anggar? Detik itu juga aku harus memilih satu dari dua. Dan dua-duanya
adalah sosok yang hampir mendekati sempurna. Namun aku bingung. Aku bagaikan
orang serakah yang menginginkan sebuah kesempurnaan.
Keputusan
adalah keputusan. Aku telah memilih sebuah jalan dan aku tidak bisa mundur
lagi!
“Diaz, maafkan aku atas perbuatanku waktu
itu,” kutatap dalam-dalam mata kecokelatan itu. “Terima kasih telah
memaafkanku. Terima kasih untuk semuanya,” ucapku tulus sambil tersenyum. Lalu
kulepas genggaman tangan Diaz dan aku pergi meninggalkan toilet.
Anggar
mengejarku. “Apa kau yakin dengan keputusanmu, Net?” Tanya Anggar begitu
berhasil mengejar langkahku.
“Tentu.
Aku tahu yang aku mau, sayang” jawabku sambil tersenyum kenes kepada Anggar.
“Buatku, kamu sempurna. Memang tidak seluruhnya, tapi bagiku itu cukup,”
tambahku.
Anggar
tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung menggenggam tangan Monet dan membimbing
kembali ke lapangan basket.
“Aku
sayang kamu, Nggar,” ucapku.
“Me too, beby.” Sebuah ciuman ringan
mendarat di kening Monet disusul dengan senyuman manis khas milik Anggar.
Akhirnya, aku tahu keputusan yang harus
benar-benar kuambil. Aku tahu Diaz sempurna. Namun aku juga tahu Anggar-lah
yang terbaik untukku. Hampir saja aku membuat kesalahan yang sama untuk kedua
kalinya. Bayang-bayang masa lalu hampir saja membuatku menjadi orang yang
paling serakah. Mungkin. Menginginkan lebih dan lebih. Padahal ada yang terbaik
untukku. Oh God!
***
Tak ada orang lain yang bisa
memahami diri kita dengan baik kecuali diri kita sendiri. Jadi kenali dirimu
agar kau tau apa yang sebenarnya kau inginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar